Kenari

Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, tempat dan peristiwa hanyalah suatu kebetulan saja yang bukan saya sengaja.

Senja kali ini terasa sejuk sekali bagiku. Dari atas villa-ku yang menghadap ke arah matahari terbenam, tampak cahayanya mulai terasa redup dengan diikuti oleh turunnya kabut. Aku duduk di teras depan kamarku yang berada di lantai dua, sambil menikmati rokok kegemaranku, dapat memandang di kejauhan matahari lambat laun mulai turun ke peraduannya. Sementara itu, jika aku menoleh ke belakang, melihat ke dalam kamar, aku masih dapat melihat sesosok tubuh molek tanpa busana tergolek di atas kasur empukku yang tebal.


Rani, entah dia gadis yang ke berapa yang kutiduri. Dia tampak kelelahan sekali setelah 'pertempuran' panjang yang kami lakukan semenjak siang saat kami baru datang di villa-ku ini. Betapa tidak lelah, tidak terhitung olehku berapa puluh kali dia mengalami orgasme dengan berbagai macam gaya yang kami lakukan, dengan tempat yang berbeda-beda. Mulai dari di atas kasur, di atas karpet, di atas meja, di dalam kamar mandi sampai di atas kursi yang kududuki sekarang.

Dia sangat lihai sekali dalam berhubungan seks, walaupun umurnya masih 21 tahun, tapi dia sangat mahir dalam permainannya. Tubuhku pun nyaris tidak ada satu mili pun yang terlewatkan oleh ciumannya, jilatannya maupun kecupannya. Apalagi penis kebanggaanku yang berukuran 21 cm dengan diameter 6 cm menjadi eksplorasi keerotisannya dengan kuluman, jilatan dan berbagai macam pijatan jarinya serta jepitan vaginanya yang kenyal dan lembut yang membuat orgasmeku kali ini berbeda dengan orgasmeku yang lain ketika aku menyetubuhi gadis-gadis 'korban'-ku.

Pikiranku saat ini menerawang jauh, sejauh matahari yang sudah nampak menguning di balik gunung di depanku. Ingatanku kembali membuka lembar-lembar perjalanan hidupku, sehingga aku terdampar dalam kehidupan seperti saat ini.

Dimulai pada saat aku masih duduk di bangku kelas 3 SMA, 13 tahun silam. Saat itu umurku masih 17 tahun. Aku adalah anak tunggal. Itong namaku. Ayah dan Ibuku bekerja sebagai wirausaha yang membuka sebuah rumah makan tidak jauh dari rumah kami. Tapi mereka baru saja kembali ke pangkuan-Nya dalam kebakaran yang terjadi di rumah makan kami. Kompor gas yang dipakai oleh ayahku untuk memasak meledak mengenai ayah dan ibu yang berada di dekatnya serta menghanguskan rumah makan kami.

Aku pun tidak dapat menahan diriku ketika para pelayat datang ke rumahku untuk turut mengucapkan ucapan bela sungkawa mereka atas musibah yang menimpa diriku. Teman dan sahabatku tidak henti-hentinya menghibur diriku. Saudara-saudaraku yang berasal dari luar daerah juga berdatangan (karena keluarga kami merupakan keluarga perantauan). Kesedihanku ini pula yang menyebabkan NEM hasil EBTANASKU pas-pasan saja. Dan semangat yang belum 100% pulih membuatku tidak lolos dalam seleksi UMPTN yang kuikuti.

Uang asuransi yang kuterima yang jumlahnya cukup besar kudepositokan saja di bank dan aku hidup setiap bulannya dari bunga deposito itu, karena aku masih belum dapat berpikir dan melakukan sesuatu untuk melanjutkan hidup ini.

Empat tahun berlalu sejak peristiwa tragis itu, aku sudah dapat berdiri sendiri di atas kakiku. Aku sudah mempunyai usaha sendiri, yaitu usaha foto copy. Lumayanlah untuk bujangan seperti aku ini. Sebagian uang depositoku dulu kubelikan dua buah alat foto copy dan membeli barang-barang stationary untuk kujual kembali. Memang rumah dan mobil minivan peninggalan orangtuaku tetap tidak kujual sebagai barang peninggalan orangtuaku yang sangat kuhargai.

Sore itu ketika hujan rintik-rintik, ada seorang gadis cantik masuk ke dalam tokoku.
"Hai Nari..! Apa kabarnya..?" teriakku.
"Hai Tong, rupanya kamu ya..?" balasnya.
"Iya, aku yang punya toko ini."
"Wah, hebat dong..!"

Kenari, itulah nama gadis itu (mirip dengan nama burung, karena dia memang suka menyanyi), tapi teman-teman memanggilnya Nari. Nama yang tidak asing bagiku, karena dia adalah bekas teman semasa SMA-ku dulu. Apalagi dia adalah gadis yang paling cantik (menurutku) di kelasku. Dia cantik, pintar, lincah dan anak orang kaya lagi (walaupun ada sedikit kesan dia agak sombong sedikit sih..!). Itulah yang membuatku dulu harus berpikir panjang kalau mau naksir dia. Tapi menurut teman-teman, dia ada hati lho sama aku waktu itu.

Memang aku ini orangnya tidak terlalu cakep, tapi juga tidak jelek-jelek amat sih (he.. he.. he.. kapan lagi memuji diri sendiri). Tinggiku 165 cm dan kulitku putih bersih. Tapi sekali lagi aku tetap takut untuk dekat dengannya, hingga kami harus berpisah setelah lulusan SMA. Dia kuliah di universitas negeri di luar kota kami.

Sore itu dia datang untuk foto copy ijazah sarjananya. Dia telah lulus dari kuliah dan akan bekerja pada perusahaan kolega ayahnya. Pertemuan sore itu berlanjut dengan saling tukar nomor telepon. Dan sejak saat itu aku sering menghubunginya. Aku sendiri tidak mengerti mengapa sejak pertemuan itu ada perasaan kangen pada diriku jika sehari saja aku tidak telepon Nari. Rupanya perasaan percaya diriku sudah timbul, mungkin karena sekarang aku sudah dapat menghasilkan uang sendiri dari keringatku.

Dari telepon-teleponan terus berlanjut ke jalan bareng, entah itu hanya jalan-jalan saja di pertokoan atau nonton film. Dari pembicaraan yang sering kami lakukan akhirnya aku mengetahui bahwa dia baru saja putus dari pacarnya.

Pacarnya yang berada di luar kota berselingkuh dengan wanita lain. Kesempatan ini kupergunakan untuk mulai mendekatinya. Bermula dari hanya sekedar memberi perhatian dengan menelepon ke kantor untuk menanyakan apa sudah makan siang apa belum. Menghiburnya kalau lagi suntuk di kantor atau memberikan bunga mawar kesukaannya pada saat-saat tertentu. Dan akhirnya dengan bermodalkan tekad (dan nekad) yang bulat (atau dibulat-bulatkan) aku 'melamar'-nya untuk menjadi pacarku, walaupun rasanya ada bola tennis di tenggorokanku, akhirnya keluar juga kata-kata itu.

Tidak disangka, ternyata aku tidak bertepuk sebelah tangan. Sejak saat itu aku pun resmi jadi pacarnya. Pagi, sore sampai malam kami selalu berdua, walaupun akhirnya aku harus mengalami kenyataan pahit bahwa hubungan kami tidak disetujui oleh kedua orangtuanya karena mereka menginginkan anak gadis satu-satunya itu mendapatkan orang yang berkepribadian baik (rumah pribadi, rekening pribadi, mobil pribadi dan hal-hal lain yang bersifat materiil).

Akhirnya kami pun melakukan strategi 'perang gerilya'. Dengan berbagai alasan yang disampaikan Nari pada orangtuanya, akhirnya kami dapat juga keluar bersama. Kadang aku harus menunggu di pinggir jalan atau sebaliknya dia yang menungguku di suatu tempat yang telah kami janjikan.

Hubungan kami pun sedikit demi sedikit mulai semakin lengket. Mulai dengan hanya saling bergandengan tangan, membelai-belai rambutnya, berlanjut dengan cium pipi sampai akhirnya mencium bibirnya yang indah dan seksi, apalagi yang terakhir aku dapat meraba dan meremas lembut susunya yang mungil, walaupun masih dari luar kaos yang dipakainya.

Bagi aku yang baru pertama kali merasakan semua ini, rasanya melayang-layang kalau aku melakukannya. Bulu kudukku berdiri (apalagi 'makhluk berbulu' di bawah ini). Rupanya dia lumayan lihai dalam melakukan semua itu, mungkin karena dia sudah punya pacar sebelumnya dan sudah biasa melakukannya dengan pacarnya itu. Tapi aku tidak ambil pusing, yang penting sekarang dia adalah milikku.

Memang dalam hal seks, aku termasuk orang yang tertutup. Aku hanya belajar secara otodidak melalui buku, majalah, tabloid bahkan video, baik itu yang semi sampai yang triple X. Tapi terus terang aku lebih suka yang semi, karena menurutku itu ada seninya dan tidak main bak-buk saja seperti di XX.

Malam minggu itu sepulang dari nonton film bioskop dan makan soto kegemaran kami, aku mengantarnya pulang. Kemana-mana dia pergi dengan membawa Toyota Starlet merah pemberian orangtuanya. Tapi mobil cantik itu hanya diparkir saja di garasiku untuk bertukar dengan mobil tua Suzuki Carry tahun 1985 kepunyaanku, untuk kamuflase katanya. Dia ijin ke orangtuanya untuk ke pesta ulang tahun teman kerjanya, atau alasan-alasan lain yang selalu saja dapat membuat orangtuanya percaya padanya. Jadi malam itu aku meluncur ke rumahku dari warung soto dengan Nari yang sudah mulai mengantuk di sebelahku.

Kasihan juga aku melihatnya agak kelelahan setelah seminggu bekerja, kemudian nonton film sampai larut malam bersamaku.
"Nar, duduk aja sambil bersandar di pintu, trus kakimu selonjorkan ke pangkuanku biar aku pijit kakimu, kamu capek kan..?"
Dia tidak menjawab, tapi apa yang kusarankan dilakukannya. Baru pertama kali ini aku memangku kakinya yang putih mulus dan bersih itu.

Malam ini dia memakai t-shirt dan rompi dipadu dengan rok yang agak mini. Dia duduk selonjor sambil bersandar di pintu mobil yang sebelumnya dialasi bantal yang selalu kubawa kalau pergi bersamanya. Sambil menyetir mobil dengan perlahan aku mulai memijat kakinya, dimulai dari telapak kakinya.
"Enak pijitanmu Tong, jangan langsung pulang ya..? Aku masih pingin jalan-jalan lagi sambil kamu pijitin seperti ini." begitu katanya tapi sambil terpejam matanya.

Hampir 30 menit aku memijat kakinya. Dari telapak kaki terus ke betis sampai akhirnya ke pahanya. Napasku semakin memburu, tapi aku harus membagi konsentrasiku dengan tetap memegang stirku agar mobilku tidak nabrak. Ingin rasanya tanganku semakin naik menuju pangkal pahanya, tapi hati ini takut.

Namun saat tanganku akan kembali lagi turun memijat betisnya, dia berkata, "Terus Tong, naik aja."
Mendapat lampu hijau, tanganku pun bergerak naik, ditunjang dengan reaksinya yang membuka pahanya dan agak menurunkan pantatnya untuk lebih dekat denganku, sehingga tanganku tidak perlu berusaha keras untuk dapat sampai pada pagkal pahanya. Karena ini pengalaman pertamaku, rasanya panas dingin badanku.

Jariku sedikit menyenggol celana dalamnya, yang kalau tidak salah warnanya putih kalau kulirik ke arah pangkal pahanya yang sedikit terbuka. Tangan Nari rupanya tidak ikut diam, dia menggapai tanganku yang sekarang 'on duty' untuk tambah lebih ke dalam dan semakin mempercepat gesekannya di celana dalamnya yang sudah terasa basah oleh ujung jariku. Karena sudah terciprat air, akhirnya sekalian kubasahi saja, karena sudah terlanjut seperti ini, akhirnya sekalian saja kuturuti kemauannya.

Kubelai lembut vaginanya dari luar celana dalamnya, terasa hangat dan basah. Aku dapat merasakan gundukan daging yang kenyal dengan rambut-rambut lembut yang tumbuh di sekitarnya.
"Ough, terus Tong..! Enak..!" begitulah rintihan Nari.
Pikiranku pun melayang pada buku-buku seks yang kubaca sebelumnya bahwa wanita dapat mencapai orgasme ketika dia diberi rangsangan yang hebat pada daerah klitorisnya.

Klitoris adalah daging kecil yang tumbuh pada bagian dalam atas vagina. Walaupun masih menggunakan celana dalam, ujung jariku berusaha mencari-cari daging itu, yang menurut buku lagi kalau wanita sudah terangsang daging itu akan semakin membesar dan mengeras.

Akhirnya usahaku membuahkan hasil, jariku menyentuh daging itu. Aku semakin yakin kalau yang kusentuh adalah klitoris, karena saat tersentuh Nari semakin memperkeras lolongannya dan napasnya semakin memburu. Tanganku pun semakin agresif untuk menggeseknya, Nari pun semakin terengah-engah dan semakin kacau pula kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Terus Tong..! Terus.., teruuss..! Aduh enak.., terus..! Aduh rasanya semakin enaak..! Aduuh.., aauugghh..!" dia melolong panjang sekali diikuti dengan dilengkungkannya badan Nari dan semakin basahnya vagina yang kumainkan.
Ternyata dia telah mencapai orgasmenya, sungguh indah tubuhnya saat orgasme dan sungguh merdu suara lolongannya.

Aku menghentikan aktifitasku. Kulihat dia masih terpejam, mungkin masih menikmati sisa-sisa orgasme yang baru saja datang kepadanya. Cantik sekali wajahnya. Akhirnya kuputar kembali mobilku menuju ke arah rumahku, dan baru kusadari kalau tangan kiriku terasa capek sekali setelah melakukan tugas yang menyenangkan. Dan aku juga baru sadar bahwa penisku yang menegang keras selama peristiwa itu juga telah meneteskan air mani, ini dapat kurasakan seperti ada yang lengket-lengket di ujung kepala penisku.

Sampai dengan keluar dari garasiku untuk mengeluarkan mobilnya, Nari masih terdiam, aku pun juga. Tapi sebelum dia tancap gas mobilnya, dia berkata sambil matanya menatap ke mataku.
"Terima kasih ya Tong." katanya diikuti dengan kecupan bibirnya di bibirku.
Aku hanya diam terpaku mengalami semua ini. Peristiwa yang baru pertama kualami seumur hidupku.

Sepulangnya Nari, aku pun terus lari ke dalam kamar mandi dan melakukan onani seperti yang biasa kulakukan setelah membaca buku seks atau menonton film-film semi dan BF kegemarank

Sejak peristiwa itu, aku dan Kenari semakin sering melakukan hal-hal yang menyerempet bahaya itu. Walaupun di rumahku kami dapat lebih leluasa melakukannya, tapi sensasinya lain jika kami lakukan di dalam mobil. Kami sudah tidak malu-malu lagi untuk bicara tentang seks, walaupun dia yang selalu mengambil inisiatif pertama untuk meminta melakukannya. Dari hanya meraba di luar celana dalam, akhirnya suatu ketika aku mendapatkan kesempatan untuk menyusupkan jari-jariku ke dalam celana dalamnya.

Nari agak terkejut saat itu, walaupun dia berada pada kondisi rangsangan birahi yang tinggi dan aku dapat merasakannya.
"Jangan Tong..!" tapi hanya itu saja yang dikatakannya, tubuhnya malah semakin menunjukkan reaksi positif atas perlakuan tanganku itu.
Aku berpikir, maksud kata 'jangan' tadi itu adalah jangan diteruskan atau jangan berhenti. Aku pun hanya berpikir positif saja, ah.. pasti artinya jangan berhenti..! (he.. he.. mau enaknya saja..!)

Benar juga, saat kususupkan tanganku ke dalam celana dalamnya dari arah atas (posisi dia sekarang tidur di atas pangkuanku dengan kepalanya di pahaku), suara desahannya semakin merdu saja rasanya di telingaku. Semakin turun jari-jariku dapat merasakan lembutnya rambut-rambut yang ternyata cukup lebat tumbuh di sekitar vaginanya. Kugosok-gosok rambut itu. Aku memang sering sekali membayangkan betapa nikmatnya membelai rambut vagina.

Tubuh Nari semakin meliuk-liuk. Kemudian kugesek-gesek lembut labia mayoranya, dari atas ke bawah, kemudian kembali ke atas, demikian seterusnya. Saat jariku sampai di bagian bawah vaginanya, aku dapat merasakan betapa sangat basahnya, rupanya dia telah banyak mengeluarkan cairan gairahnya. Mungkin karena gairahnya sudah sangat tinggi, Nari langsung membimbing tanganku untuk menyentuh dan menggesek-gesek klitorisnya.

Benar, setelah klitorisnya tersentuh dan kugesek, kembali terdengar nyanyian merdu erangan-erangan nikmat dari gairahnya yang semakin memuncak. Kata-kata yang mengiringinya pun juga semakin membuat penisku semakin menegang, walaupun agak sakit karena terjepit celana dan ditindih oleh kepala Nari yang berbaring di atas pahaku.

"Terus Tong..! Terus.., terus.., terus..! Yak.., lebih cepat lagi.. terus.. terus..! Aduh aku mau nyampek..! Oogghh..!" teriakan yang kutunggu-tunggu itu akhirnya datang juga.
Tubuhnya kembali melengkung, matanya terpejam dan kedua tanggannya mencengkeram erat tanganku yang masih 'menginap' di vaginanya. Vagina yang telah basah itu kini semakin basah dengan datangnya gelombang orgasme yang menimpanya.

Cengkeraman tangannya semakin melemah, tapi nafasnya masih naik turun dengan tempo yang masih cepat. Matanya masih terpejam. Tanganku masih membelai lembut rambut vaginanya kesukaanku. Aku yakin dia sangat menikmati orgasmenya. Setelah nafasnya kembali teratur kutarik keluar tanganku dan kulap tanganku yang basah oleh cairan vaginanya dengan tissue yang ada di mobilku. Sambil terus menyetir, kubelai lembut rambut lurusnya yang sebahu itu.

"Kamu jahat Tong..!" tiba-tiba saja dia berkata sambil merengut.
"Jahat apa..?" tanyaku balik.
"Tadi kan sudah kubilang jangan, tapi kenapa kamu terusin tanganmu masuk ke celanaku..?"
Aku tersenyum mendengarnya, "Habisnya.., mulutmu yang atas bilang jangan, tapi mulutmu yang bawah bilang terus. Ya aku nurut saja sama yang lebih kupercaya."
"Eh.. ngomong-ngomong enak mana rasanya yang tadi dengan yang biasanya..?" nekat saja kubertanya.
Dia diam saja sambil memainkan jari-jarinya, kemudian melirik ke arahku, tersenyum nyengir sambil berkata, "Yah lebih enak yang barusan sih, lebih menyentuh di hati, hi.. hi.. hi.."
Langsung saja kupencet hidungnya yang mungil itu. Dasar anak nakal pikirku..!

Apa yang kami lakukan di hari-hari berikutnya adalah melakukan hal tersebut di atas. Kami seperti dua anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Kami tidak bosan-bosannya memainkan. Memang sampai dengan saat ini hanya dia saja yang merasakan orgasmenya, sedangkan aku harus menahan semua gairahku yang akhirnya harus kusalurkan dengan onani sepulang Nari dari rumahku.

Aku memang tidak meminta Nari melakukannya untukku. Bagiku, aku sudah cukup puas dengan melihat dan mendengarnya mencapai kenikmatan duniawinya, rasanya itu kenikmatan yang hanya dapat dirasakan oleh batinku. Dan sampai sekarang ini pula Nari juga belum berinisiatif untuk memuaskanku (karena memang biasanya dia yang berinisiatif duluan, aku lebih pemalu untuk hal ini), apa mungkin dia malu juga ya..? Ah.., nggak tahu lah..!

Sore itu masih jam 3 sore. Saat aku baru membuka rolling door tokoku, Starlet merah dengan nomor polisi N 4 RI (bukan sebenarnya, hanya menggambarkan mobil milik Nari) berhenti di depanku.
"Lho kenapa kamu Nari..? Ini kan belum waktunya pulang kantor..?" tanyaku.
"Aku minta ijin pulang duluan Tong, kepalaku agak pusing. Tapi aku malas pulang ke rumah. Aku tidur di rumahmu aja ya Tong..?"
"Ya, baiklah."

Kubukakan pintu mobilnya dan kupapah dia ke dalam kamarku. Untung saja aku barusan bersih-bersih rumah, kalau tidak bisa kena damprat aku. Nari memang orangnya tidak suka dengan rumah yang berantakan. Jadi, sejak pacaran dengan Nari aku jadi sering beres-beres rumah.

Kubaringkan dia di tempat tidurku dan dengan lembut kulepas sepatunya, kuletakkan tas kerjanya di atas mejaku, kulepaskan blazernya dan kugantungkan di gantungan baju.
"Minum obat ya Sayang..?"
"Nggak usah Tong, aku hanya pingin tidur, nanti kalo bangun pasti udah baikan."
"Ya sudah, sekarang tidur ya..! Jangan sakit ya Sayang..,"
Kubelai rambutnya, kemudian kukecup keningnya. Tidak lupa kututupi tubuhnya dengan selimut, kemudian kutinggal dia keluar kamar.

Sampai di pintu kamar, aku melihatnya, matanya terpejam, tangannya ditekuk ke atas dan punggung jarinya ditempelkan pada pipinya. Bibirnya agak tersungging seperti sedikit tersenyum. Itulah yang kusukai darinya. Walaupun saat tidur, ia masih kelihatan cantik.

Cepat-cepat aku keluar rumah untuk menutup tokoku lagi, mengeluarkan mobilku dari garasi dan memasukkan mobil Nari ke dalam garasi. Sekali lagi untuk kamuflase..!

Kubuka lemari pendinginku, untung masih tersedia beberapa sayuran, telur dan sosis. Aku akan memasak masakan yang sampai saat ini aku tidak tahu namanya, karena masakan itu kesannya kucampur saja sayuran dan bahan lain seadanya, kemudian aku bumbui seadanya juga. Tapi yang penting rasanya tidak kalah dengan hasil masakan rumah makan. Tidak lupa pula kupetikkan setangkai bunga mawar merah dari halaman belakang rumahku. Aku memang telah menanamnya sejak aku mulai pacaran dengan Nari, hitung-hitung untuk penghematan, daripada harus beli setiap mau ngasih dia bunga, mendingan metik saja langsung dari halaman rumah, ya nggak..?

Kutaruh mawar itu pada vas bunga dari bahan gelas dan kuletakkan di atas meja, kemudian kusiapkan lilin di sampingnya. Wah, aku sendiri heran pada diriku, kok sekarang aku jadi romantis sekali ya..? Padahal dulu aku tidak pernah bisa melakukan hal seperti ini.

Sambil menunggu Nari bangun, kunyalakan TV-ku. Dari ruang tengah tempat aku menonton TV dapat kulihat Nari yang masih tidur di kamarku yang pintunya sengaja kubuka. Eh, rupanya dia menggeliat dan kemudian membuka matanya. Langsung saja kumatikan TV-ku dan kuhampiri dia. Jam di kamarku sudah menunjukkan pukul 5 sore.

"Bagaimana Sayang tidurnya..? Enak..? Sudah nggak pusing lagi..?" langsung tiga pertanyaan terlontar dari mulutku sambil kubelai rambutnya dan tidak lupa kukecup keningnya.
Dia hanya mengangguk, kemudian dia rangkulkan kedua tangannya di leherku dan dia kecup bibirku sebentar.
Dia langsung bangun, "Lapaar.." begitu katanya.
Eh, ternyata aroma masakanku tercium olehnya yang sedang mimpi dan sekarang membuatnya lapar saat terbangun.

"Aku memang sudah masak untuk kamu. Yuk kita makan sekarang, tapi cuci muka dan cuci tangan dulu ya anak cantik."
Langsung saja kugendong tubuhnya, sementara dia bergelayut manja dalam gendonganku. Saat melewati meja makan menuju ke kamar mandi, aku berhenti sejenak untuk memperlihatkan kepadanya apa saja yang telah kupersiapkan di atas meja makan.
"Oh cantiknya.. Terima kasih ya Tong."
Kembali dia cium aku, kali ini kedua pipiku. Aku pun membalasnya dengan mencium kedua pipinya pula.

Dia terus kugendong menuju kamar mandi yang terletak dekat dapur rumahku. Kuturunkan dia di depan pintunya.
"Ayo Tuan Putri, cepat cuci muka, cuci tangan, dan cuci kaki, setelah itu Tuan Putri hamba persilakan menikmati hidangan yang telah hamba sediakan. Aku membungkuk bak seorang abdi kepada putri raja."
Dia hanya tersenyum dan kembali pipiku diciumnya. Gila pikirku, hari ini ciumannya diobral nich..!

Aku kembali ke meja makan untuk membuka tutup saji dan sedikit menata kembali piring dan gelas yang sebenarnya telah kupersiapkan sejak tadi. Tidak lama kemudian dia muncul dengan wajah yang lebih bersih dan segar. Kunyalakan lilinnya, kutarik satu kursi makan dan kupersilakan Nari duduk di atasnya. Kemudian aku duduk di sebelahnya. Kali ini kulayani dia, kuambilkan nasi, lauk dan sayurnya serta menuangkan air putih di gelasnya. Kuletakkan di hadapannya dan kulanjutkan dengan mengambil jatahku sendiri.

"Yuk makan Nar..!" ajakku.
Eh dia cium pipiku lagi, "Terima kasih ya Tong, I love you."
Kubalas juga dengan mencium pipinya, "I do love you." jawabku.

"Masakanmu enak sekali Tong. Rupanya baru aku tahu kalau kamu pinter sekali memasak. Kalo tahu dari dulu, buat apa kita sering-sering keluar untuk makan. Mendingan di rumah aja."
"Siapa dulu donk kokinya..?" ucapku memuji diri.
Dia langsung mencubit perutku dan aku pun langsung meliuk menghindarinya, walaupun asyik lho dicubit pacar, pasti nyubitnya nyubit sayang, ya nggak..?
"Aku mandi dulu ah, geli kupingku dengan orang besar kepala."
Dia kemudian berjalan menuju kamar mandi sambil mendongakkan wajahnya dan mengambil handuk dari jemuran yang ada di kamar mandi. Aku hanya tertawa geli melihat pacar cantikku itu pergi dengan wajah yang dibuat-buat itu.

Sementara dia mandi, aku membereskan meja makan. Kucuci piring dan gelas kotornya dan kutempatkan pada rak piring yang ada di dapur, kemudian aku kembali duduk di ruang tengah dan kulanjutkan menonton TV. Tidak lama kemudian dia keluar dari kamar mandi. Wajahnya segar, bau tubuhnya harum sabun mandi walaupun baju yang dia pakai sekarang adalah baju kerjanya yang dia buat tidur tadi. Aku memang belum terpikir untuk membelikan baju santai yang dapat dia pakai jika dia sewaktu-waktu ada di rumahku. Aku berjanji pada diriku sendiri akan membelikannya esok hari.

"Tong, pusingku sudah hilang, tapi badanku masih capek rasanya, kamu mau mijitin aku Tong..?" tiba-tiba saja dia berkata begitu setelah dekat denganku.
Wajahnya tidak secerah seperti saat makan tadi.
"Ya, sini aku pijitin. Mau pijit di mana..?"
"Di dalam kamar aja, Tong."
"Ayo." sambil kugandeng tangannya.
Tangannya dingin sekali, mungkin karena dia baru selesai mandi, dan air yang dingin itu pulalah yang menyebabkan rasa capeknya lebih terasa menggigit tulang-tulangnya.

Nari langsung telungkup di atas tempat tidurku sementara aku mengambil body lotionku dari atas meja.
"Mana yang capek sayang..?" tanyaku.
"Semuanya." jawabnya.
Dengan penuh rasa sayang dan kasihan melihat dia yang terlihat agak lesu, aku mulai memijat telapak kakinya.

Kulakukan dahulu peregangan otot dengan memijat-mijat tubuhnya tanpa lotion terlebih dahulu. Saat kupijat betisnya, mataku langsung tertuju pada pinggulnya yang besar dan montok, tapi perutnya langsing, sehingga dia pantas mendapat julukan wanita berbody gitar Spanyol. Seksi sekali pinggulnya. Saat kakinya bergerak karena pijitanku, pinggulnyapun ikut bergerak ke kiri dan ke kanan. Aku hanya geleng-geleng kepala menahan nafsu. Pijatanku terus naik ke pahanya dan berlanjut ke pinggulnya yang montok itu. Dengan cueknya seakan kami sudah suami istri, kupijat pinggul itu. Nari hanya diam terpejam. Dan akhirnya pijatanku berlanjut ke daerah punggungnya.

"Tong, ini nanti mijatnya pakai lotion ya..?" tiba-tiba Nari bertanya.
"Iya, memang kenapa..?" tanyaku kembali.
"Kalo begitu lepasin aja baju seragamku ini, besok aku masih pake ke kantor biar nggak kotor gih..!"
Deg..! Jantungku langsung berdetak lebih cepat. Setelah sekian lama aku menjalin hubungan dengan Nari dan melakukan hal-hal seperti pada kisahku yang lalu, baru saat ini aku akan melihat tubuh mulusnya, karena selama ini jika aku 'memasturbasinya', kami masih dalam keadaan memakai pakaian lengkap.

Setelah berkata demikian, dalam keadaan telungkup, jari-jari Nari mulai melepaskan satu persatu kancing kemeja seragam yang dia pakai, dan dengan cueknya melepaskannya dan memberikannya kepadaku. Aku tertegun sejenak dan menerima baju itu, kemudian kugantung di gantungan baju dekat dengan blazernya yang telah kugantung sebelumnya. Dia masih tetap terpejam dengan wajah seolah-olah tidak terjadi dan tidak akan terjadi apa-apa dengan dirinya. Dia sangat percaya kepadaku bahwa aku tidak akan menyakitinya.

Kudekati kembali tubuhnya. Kulihat punggungnya yang mulus. Tubuh atasnya hanya tertutup oleh BH warna putih gading.
"Rok bawahannya tolong lepasin dong Tong..!" pintanya sekali lagi dengan wajah yang tenang pula.
Jari tanganku pun akhirnya meraih retsluiting roknya yang terletak di bagian belakang. Aku tarik perlahan sambil menahan napas karena sebentar lagi aku akan dapat melihat pinggulnya yang seksi itu walaupun masih tertutup oleh celana dalamnya.

Dengan dibantu mengangkat sedikit pinggulnya, kutarik rok kerjanya turun melewati kedua kakinya. Oh Tuhan, di depan mataku sekarang tergolek tubuh indah ciptaanMu, setengah telanjang, hanya mengenakan BH dan celana dalam dengan warna yang sama.
"Ayo Tong, lanjutin mijitinnya. Pakai lotion ya..!"
"Iya," jawabku pelan karena terasa berat di mulut ini melihat pemandangan indah di depan mata.

Dengan sering-sering menarik napas dalam-dalam, aku mulai memijat kembali tubuh Nari dengan menggunakan body lotion. Gesekan dan licinnya pijatanku membuat mulut Nari mulai mengeluarkan bunyi-bunyiannya, "Egh.. egh.. egh.."
Tapi ekspresi wajahnya tetap tidak menunjukkan terjadi hal-hal yang mengkhawatirkan dirinya. Sementara itu penisku mulai menunjukkan ukuran yang sebenarnya. Celana hawaii yang kupakai kelihatan agak menggelembung, karena memang aku masih memakai CD di dalamnya.

Setelah kupijat betis dan pahanya, aku langsung meloncat ke punggungnya, kulewati pinggulnya yang tertutup CD putih gading karena aku tidak akan percaya kalau Nari akan memintaku melepaskannya.
"Tong, kalau tali BH-nya menghalangi pijitanmu, lepasin aja Tong..!"
Jantungku terasa berdetak lebih kencang lagi. Apalagi yang akan terjadi petang ini..? Aku hanya diam menuruti apa maunya. Kulepas pengait BH di punggungnya sehingga sekarang terpampang bebaslah punggung mulus Nari, pacarku yang sangat kucintai.

Aku mulai lagi memijat punggungnya dengan lotion dan kembali bunyi, "Egh.., egh.." keluar dari mulutnya.
Setelah selesai memijat tangan dan lehernya, aku berniat menyelesaikan pijatanku, tapi kulihat Nari membungkukkan punggungnya. Rupanya dia menarik BH yang sedari tadi hanya terlepas talinya, namun sekarang betul-betul dia singkirkan dari tubuhnya. Aku hanya termenung menelan ludah menyaksikan semua ini.

Sesaat kemudian dia membalikkan tubuhnya. Ya Tuhan, indah sekali buah dadanya. Putih bersih seperti kulitnya yang lain. Puting susunya berwarna merah muda terlihat agak mencuat, buah dadanya tegak tanpa menunjukkan kekendoran (setelah peristiwa ini akhirnya kuketahui ukuran payudara Nari adalah 34B). Nari memandangku. Payudaranya tidak ditutupi oleh kedua tangannya. Dia seakan tidak malu lagi bagian tubuhnya yang indah itu terlihat olehku, bahkan seakan dia menyerahkan kepadaku untuk kupandangi sepuas-puasnya.

Kemudian diangkat kedua tangannya tampa berkata sepatah pun. Aku pun mendekatkan wajahku ke arahnya. Dia peluk leherku dan akhirnya dikecupnya bibirku. Aku yang sudah tidak dapat menahan gejolak yang telah kutahan sejak tadi langsung membalas ciumannya, namun tidak seperti orang yang kehausan, tapi tetap dengan kelembutan. Perlahan-lahan tangan kananku membelai-belai paha, pinggul, perut dan punggungnya, sementara tangan kiriku menahan kepalanya.

Sepuluh menit lamanya kami berciuman dengan cara itu tanpa melepaskan sedetik pun bibir kami. Napas kami hanya masuk dan keluar melalui hidung. Matanya terus terpejam. Akhirnya kuberanikan tanganku untuk mengelus payudaranya. Dimulai dari lingkaran luar, sampai dengan akhirnya kusentuh putingnya yang semakin mencuat dan mengeras itu.
"Ee..," akhirnya keluar juga suaranya, walaupun pendek.
Mungkin dia sedikit geli atau nikmat saat putingnya tersentuh olehku.

Selanjutnya aku mulai memilin-milin dengan lembut puting susunya, mulai dari yang kiri kemudian ganti yang kanan dan kembali ke kiri terus ke kanan lagi. Sekarang suara 'ee.., ee..'-nya sudah mulai sering keluar dari mulutnya yang masih saling beradu dengan mulutku.

Akhirnya kulepaskan ciumanku untuk terus berlanjut ke pipi, kemudian telinga dan terus turun ke lehernya. Kunikmati setiap mili kulit lehernya yang lembut dan harum dengan kecupan dan kecupan serta sekali-kali jilatan leherku. Suaranya pun mulai sedikit lebih keras. Mulutnya agak terbuka, tapi matanya masih tetap erat terpejam. Kedua tangannya meremas-remas rambutku.

Ciumanku terus turun menuju belahan buah dadanya. Aku berhenti sejenak untuk menelan ludah dan mengambil napas, kemudian kulanjutkan untuk mengeksplorasi kedua bukit indahnya dengan kecupan dan jilatan lidahku.
"Aakh.. ouukhh..!" hanya kata-kata itu saja yang keluar dari mulut Nari ketika lidahku mulai memainkan puting susunya.

Aku yang sudah panas terbakar nafsu terus melanjutkan ciumanku turun ke arah perutnya yang datar. Kujilat pusarnya, kucium pinggangnya. Dia menggelepar-gelepar menerima perlakuanku itu dengan diiringi suara-suara merdu yang semakin tidak teratur keluar dari mulutnya. Napasnya pun sudah mulai memburu.

Ciumanku kembali turun. Kali ini menuju ke arah vaginanya yang masih tertutup CD. Sambil kuusap-usap pahanya, kuciumi vaginanya dari luar CD-nya. Rupanya banjir sudah datang. CD itu tampak basah. Aku tidak perduli, bau khas cairan nikmat itu terasa menusuk hidungku dan membuatku semakin bertenaga untuk melakukan tindakan selanjutnya.

Tanganku naik memegang kedua sisi celana dalamnya, dan dengan sangat perlahan, dengan tetap mencium bagian bawah perutnya, kuturunkan karet CD-nya.
"Jangan Tong..!" kembali kata-kata yang tidak asing terdengar olehku, kata yang keluar dari mulut Nari jika kami mulai naik pada level yang lebih tinggi dari pergulatan kami.
Tapi sampai dengan saat ini, kata-kata itu tidak pernah ada artinya bagiku maupun Nari, karena sebenarnya dirinya juga menginginkan hal ini.

Mendengar kata-kata itu, aku justru semakin gencar melakukan serangan dengan menciumi terus bagian bawah perutnya. Aku tidak mau memaksa Nari kalau memang Nari tidak menginginkannya, karena aku sangat mencintainya. Akhirnya pertahanan Nari bobol juga. Terbukti dengan sedikit diangkatnya pinggul Nari untuk memberi jalan CD yang akan kuloloskan melalui kedua kaki indahnya. Kuturunkan dengan sangat pelan.

Sambil terus turun menciumi, mataku terus melihat saat-saat pertama kali aku melihat vagina seorang wanita, live di hadapan bola mataku. Beberapa lembar rambut kemaluannya mulai tersembul dari balik CD-nya yang terus perlahan kuturunkan. Warnanya hitam legam, seperti warna rambut kepalanya, tapi lebih lembut. Itu dapat kurasakan ketika ujung hidung dan bibirku mulai menempel pada rambut itu. Akhirnya CD Nari lancar melewati kedua belah kakinya.

Kini tidak sehelai lembar benang pun menutupi tubuh indah nan molek pacarku. Aku dengan mata nyaris tidak berkedip terus memandangi vaginanya yang baru pertama kali seumur hidup dapat kulihat langsung di depan mataku. Sungguh indah sekali. Labia mayoranya berwarna merah muda, bersih dan wangi baunya. Mata Nari terbuka dan melihat ke arahku, dia hanya terdiam. Aku pun terdiam.

Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan perlahan dan lembut kuciumi kembali vagina yang sebenarnya ini. Nari pun mulai menggeliat kembali. Suaranya kembali keluar. Diawali dengan desisan dan diteruskan dengan nyanyian birahi yang mulai naik. Lidahku menari-nari pada bagian labia mayoranya. Dan sedikit demi sedikit Nari dengan sendirinya membuka kedua pahanya, sehingga vagina yang telah basah itu terlihat lebih merekah. Aku dapat melihat dengan jelas klitoris yang muncul dari balik labia mayoranya. Tanpa menunggu lama kusambut kemunculan klitoris itu dengan kecupan tepat ke arahnya.
"Aaghh..!" lenguhan Nari terdengar agak panjang.

Kecupan itu pun kulanjutkan dengan menjilati klitoris itu. Nari pun bereaksi dengan menggoyang-goyangkan pinggulnya. Suara nyanyiannya terdengar lagi. Kedua tangannya mencengkeram rambutku dan menekan kepalaku untuk lebih dalam lagi menjilat klitorisnya. Sambil menjilati klitorisnya, sekali-kali aku juga menjilati labia minoranya dan sedikit merasakan cairan birahi Nari. Rasanya seperti permen Nano-nano (manis, asem, asin, rame rasanya..!).

"Oh.. terus Tong.. Enak Tong.. yak.., enaak..! Aduuh.. teruus..! Oh.. oh.. oohh.. I'm coming Tong. I'm coming Tong. I'm comiinng..!" Nari melenguh panjang.
Pinggulnya dia naikkan tinggi-tinggi, sedangkan kedua tangannya mencengkeram erat rambutku dan menekan lebih keras lagi kepalaku ke arah vaginanya.

Sesaat aku dibuat sakit dan susah bernapas oleh perlakuannya ini, tapi aku menyadari dia lakukan itu di luar kesadarannya, karena saat ini yang dia rasakan hanya luapan kenikmatan karena datangnya orgasme yang kuyakin jauh lebih nikmat dari orgasme-orgasme yang telah dia rasakan sebelumnya.

Karena aku sendiri masih penasaran dan aku baru saja membaca bahwa wanita dapat memperoleh multiple orgasm, maka jilatan pada klitorisnya tetap kulakukan walaupun dia telah sampai pada orgasmenya yang pertama. Rupanya apa yang kulakukan itu benar, napasnya semakin memburu lagi.
"Toong, I'm.. coommiinng.. aggaiin..!" kata-katanya tertahan yang menunjukkan bahwa Nari telah sampai lagi pada orgasmenya yang kedua menyusul setelah datangnya orgasme yang pertama.

Aku masih penasaran lagi, semakin kupercepat dan kuperdalam jilatanku. Dia mencengkeram semakin kuat, "Suuddaah Tong, aakkuu nngaakk kkuuatt llaggi..!"
Akhirnya jebollah pertahanannya yang ketiga. Dia baru saja mengalami orgasme yang beruntun sebanyak tiga kali. Aku sangat puas dan bahagia dapat memberikan kepuasan yang maksimal pada orang yang sangat kucintai.

Tubuhnya lunglai, tangannya lemas, napasnya cepat naik turun seakan-akan baru saja dikejar hantu, matanya terpejam erat, mulutnya menganga dan bibir vaginanya mengeluarkan banyak sekali cairan kenikmatan. Sprei kasurku seperti terkena ompol bayi. Tapi aku tidak perduli. Kujilati sampai habis cairan vagina yang ada di bibirku. Kemudian kudekatkan wajahku ke wajahnya yang masih terpejam. Dia jauh lebih cantik jika selesai mengalami orgasme.

Kukecup lembut keningnya, pipi kanannya, pipi kirinya dan terakhir bibirnya yang merah merekah.
Kemudian kubisikkan lembut di telinganya, "I do love you, Nari."
Dengan mata masih terpejam dia angkat kedua tangannya untuk memeluk leherku, kemudian menarik kepalaku agar pipi kami saling bersentuhan. Dia tidak berkata apa-apa, tapi aku yakin Nari juga mengucapkan kata-kata yang sama dengan yang kuucapkan padanya.

Walaupun kami sudah melakukan pertempuran yang seru dan penisku sudah menegang dalam tegangan yang maksimal dan telah sedikit mengeluarkan sperma di ujungnya, aku masih belum tega untuk bertindak lebih jauh tanpa permintaan dan persetujuan dari Nari sendiri, karena sekali lagi aku sangat sangat sayang padanya.

Setelah napasnya teratur kembali, Nari mulai membuka matanya. Sementara itu aku masih duduk di sampingnya memandangi wajah cantiknya yang tidak bosan-bosannya aku memandangnya. Kedua telapak tangannya memegang telapak tangan kananku.
"Tong, saat ini kamu sudah mengetahui setiap lekuk tubuhku. Sudah tidak ada lagi yang aku tutupi darimu, kamu sudah melihatnya. Kamu sudah memberikan kepuasan-kepuasan kepadaku yang belum aku rasakan sebelumnya. Dengan pacarku yang dulu aku hanya sampai batas ciuman di bibir saja, tidak lebih. Denganmu, aku telah berikan semua ini kepadamu. Tapi aku hanya minta satu darimu, aku ingin menyerahkan keperawananku pada saat malam pertama setelah kita resmi menikah, walaupun saat ini kita tahu papa dan mamaku sangat tidak setuju dengan hubungan kita, tapi dengan 'perang gerilya' yang kita lakukan ini dan usahamu untuk meyakinkan ayah dan ibu, bahwa kita tidak dapat dipisahkan, kita harus hidup bersama sampai mati. Kamu sanggup menjaganya, Tong..?"
Aku hanya mengangguk diam.

Nari kemudian bangun dan memelukku.
"Terima kasih Tong. Nari sangat sayaang sama Itong."
Dikecupnya kedua pipiku dan kembali memelukku dan diam sejenak. Wajahnya kemudian menunduk, seakan ada yang dilihatnya. Tangan kanannya bergerak, dan memegang benda yang selama ini belum pernah disentuhnya, penisku. Ops..! Seperti ada sengatan listrik di tubuhku saat penisku tersentuh oleh jari lembutnya.

"Toong, aku juga kagum sama kamu. Selama kita berhubungan seperti ini, tak pernah sekalipun kamu meminta aku untuk memegang 'benda' ini apalagi memuaskanmu, kamu kuat sekali menahannya. Apa kamu nggak kepingin, Tong..?"
Aku hanya diam saja, dan semakin mempererat pelukanku padanya, sementara jarinya masih terus mengelus penisku dari luar celana hawaii yang kupakai. Dalam hatiku, mana ada sih pria yang tidak mau kalau ditawarin seperti itu. Tapi rasa cinta dan sayangku kepadanya membuatku tidak sanggup untuk meminta dan melakukannya.

Tiba-tiba Nari melepaskan pelukan kami.
Wajahnya tersenyum nyengir sambil mengacungkan jari telunjuknya ke wajahku dia berkata, "Sekarang aku minta pertanggung jawabanmu. Kamu sudah lihat semua bagian dari tubuhku ini dan kamu juga telah membuatku melayang-layang kenikmatan. Aku kan pingin juga lihat anumu, eeh.. itumu, dan membelainya, mengelusnya, dan lain-lain.. sampai dia muntah-muntah."
Matanya melotot, tapi bibirnya tersenyum.

Kujepit saja hidungnya dengan kedua jari tanganku sambil tersenyum juga, habis gemas aku. Akhirnya bibirnya yang lembut itu mencium bibirku. Dan kedua tangannya melepas t-shirt yang dalam pertempuran tadi tidak terlepas dari tubuhku. Tampaklah di depan matanya dada telanjangku. Dia langsung mencium dan menjilati leherku. Geli aku rasanya. Tapi aku ingin menikmati apa yang akan dia berikan buatku, sehingga aku hanya diam dan kupejamkan mataku untuk menikmati sensasi yang pertama akan kunikmati dalam hidupku ini.

Nari turun dari tempat tidurku, sementara aku duduk dengan kaki masih bergelayut di pinggiran tempat tidurku. Nari terus mencium leherku dan turun untuk mencium kedua puting susuku dan turun lagi ke arah pusarku. Aku tidak kuasa menahan geli dan nikmat saat lidahnya merajalela di atas pusarku, sehingga aku akhirnya tidur telentang. Kedua tanganku membelai-belai rambutnya, sementara lidahnya yang liar tapi lembut terus menciumi bagian bawah perutku. Penisku pun kembali menegang.

Akhirnya mulut Nari sampai pada permukaan celanaku di mana di baliknya tersimpan penisku yang menunggu untuk tampil di hadapan mata Nari. Ketika tangan Nari menarik turun karet celana hawaii beserta CD-ku, aku langsung memberikan respon dengan mengangkat pantatku. Nari langsung menarik kedua celanaku itu secara bersamaan melewati kedua kakiku. Malu sebenarnya hati ini. Maklum inilah pertama kalinya aku telanjang di depan orang lain, apalagi orang itu adalah wanita.

Memang selama ini aku tidak pernah telanjang di depan orang lain, walaupun itu teman-temanku yang pria. Tapi di depan orang yang kucintai yang telah memberikan segala yang ada pada dirinya kepadaku, aku akhirnya hilangkan perasaan itu.
"Auw, besar sekali Toong..!"
Nari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya setelah melempar celanaku.
"Iiih, aku belum pernah lihat yang seperti ini Toong..!"
Memang saat itu penisku sudah dalam keadaan tegang maksimal, ukurannya panjang 19 cm dengan diameter 4,5 cm. Cukup membuat gentar yang melihatnya.

Aku hanya diam tersenyum. Kutarik kedua tangan Nari dan kuletakkan pada penisku. Tangannya diam dan dingin, matanya masih terpejam. Akhirnya sedikit demi sedikit jari jemarinya mulai bergerak, membelai lembut penisku. Aku pun spontan bereaksi terhadap belaiannya. Aku menggeliat. Belaiannya akhirnya semakin kuat dan kulihat perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Wajahnya didekatkan ke penisku, sementara tangannya tetap membelai dan memijat-mijat penisku naik turun.

"Aakh..," jeritku lirih.
Aku mulai merasakan kenikmatan tangan Nari di penisku. Akhirnya aku juga merasakan ada sesuatu yang lain selain jari-jarinya yang menempel penisku. Kubuka sedikit mataku. Rupanya dia mulai mencium kulit penisku. Mulai dari batang penisnya, turun ke buah zakar, naik lagi ke batang penis, naik ke kepala penis. Begitu terus. Aku semakin tidak kuat menahannya. Aku semakin terkejut ketika ada sesuatu yang basah menyentuh ujung kepala penisku.

Kembali sedikit kubuka mataku. Oh, rupanya Nari mulai menjilati kepala penisku, dan akhirnya dikulumnya penisku itu di mulutnya yang mungil. Aduh, nikmat sekali rasanya. Lidahnya yang lembut bergesekan dengan kulit kepala penisku yang peka. Sementara tangannya terus mengurut batang penisku naik turun. Jilatan dan kuluman mulut Nari ternyata bertambah dengan sedotan yang membuat spermaku naik ke arah puncak kepala penisku.

"Oh ya Nar.., enak Naar. Terus Nar..!" sekarang ganti aku yang meracau.
"Terus Nar..! Lebih cepat Nar.., lebih kuat Nar.., aku mau nyampe Nar.. aagghh Narii I.. love.. youu..!" air maniku muncrat dengan hebatnya ke dalam mulut Nari.
Tapi dia terlihat tidak merasa jijik sedikit pun. Penisku dijilatinya sampai sperma yang kukeluarkan habis bersih ditelannya.

Aku terbaring lelah, Nari pun berbaring di atas dadaku. Dan akhirnya kami tertidur dengan posisi seperti ini, tanpa sehelai benang yang menutupi tubuh kami sampai akhirnya terbangun oleh bunyi suara HP Nari.

"Dari Mama Tong..! Sst..!"
"Hallo Ma..! Iya-iya.., sebentar lagi Nari pulang. Nari masih di toko buku untuk cari literatur buat nyelesein tugas dari Pak Haryo, Ma..! Iya-iya.., Nari cepet pulang. Da Mama..!"
Aku hanya geleng-geleng kepala. Pacarku ini memang pintar kalau membohongi Papa Mamanya.

"Tong, aku pulang dulu ya..!"
"Nggak mandi dulu..?" tanyaku.
"Nggak ah.. Aku cuci muka aja. Aku ingin yang lengket-lengket ini tetap melekat di tubuhku sampe pagi, he.. he.. he.."
Langsung saja dia bergegas pergi ke kamar mandi. Aku segera memakai kembali t-shirt dan celanaku.

Tidak lama kemudian Nari masuk dengan tubuh yang masih telanjang, tapi wajahnya sudah kelihatan segar. Dia memakai pakaiannya yang berserakan dan yang tergantung di gantungan bajuku. Setelah itu dia ambil tasnya dan memakai sepatunya, kemudian menuju ke garasiku. Aku buka rolling door garasiku. Distaternya Starlet merah kesayangannya. Jendelanya perlahan terbuka.
"Daagh Itong sayaang, makaci yaa. Muwah.. muwah.. muwah.. muwah.. muwah..!" dikecupnya bibirku lima kali dan tidak lupa tersenyum sambil nyengir.

Starlet itu melesat keluar meninggalkan rumahku dan hilang di balik belokan jalan. Sebuah hari yang melelahkan sekaligus kenangan indah yang tidak akan terlupakan. Kenari, cantik namamu, cantik wajahmu, kaya orangtuamu tapi mengapa engkau mau bersamaku yang hanya seorang bujangan yatim piatu, lulusan SMA, hanya punya usaha kecil, toko dan foto copy, hanya mempunyai duit pas-pasan. Tapi itulah cinta. Cinta yang tulus dan murni tidak memandang harta dan status sosial. Terima kasih Tuhan karena telah engkau berikan Kenari buatku walaupun kini belum dalam genggamanku.

Hari-hari berikutnya kulalui bersama Kenari dengan tambah sayang dan mesra. Walaupun hanya sebentar, setiap pulang kerja dia selalu mampir ke rumah atau tokoku. Yah, minimal hanya untuk setor pipi kiri dan kanannya buat kukecup dan dibalas dengan kecupan yang sama di pipiku. Kalau tokoku agak sepi dan rasa kangenku tidak dapat kutahan, maka aku lah yang menjemputnya. Tapi biar tidak ketahuan sama teman kerjanya, kutunggu di toko buku, 200 meter dari kantornya. Sebab kalau sampai ketahuan teman-temannya bisa gawat tuh! Nanti beritanya bisa sampai pada telinga Pak Haryo, bosnya Nari, terus Pak Haryo bisa lapor sama papanya Nari, kan Pak Haryo itu kolega papanya Nari!

Kalau Nari dapat membuat alasan untuk tidak pulang cepat pada mamanya, dia selalu datang ke rumahku untuk mandi, masak, dan dilanjutkan dengan makan malam bersama. Aku sudah membelikannya baju santai yang dapat dipakai di rumah, baik itu baby doll atau daster, atau pakaian-pakaian yang lain. Setelah itu kami ngobrol-ngobrol saling bertukar pikiran, menata masa depan, nonton TV, bersenda gurau dan semuanya itu biasanya kami akhiri dengan saling mencium, membelai, menggesek dan seterusnya sampai terlepas semua pakaian yang kami kenakan.

Kami sudah tidak malu-malu lagi melakukannya, seperti sepasang suami istri saja. Tapi sesuai dengan permintaannya, aku selalu menjaga satu hal, yaitu keperawanannya. Ia akan menyerahkan 'mahkota' yang berharga itu pada saat malam pertama kami, pada saat kami resmi menikah nanti. Selebihnya aku sudah nikmati sampai saat ini, mulai dari ujung atas rambutnya sampai dengan telapak kakinya.

Berbagai macam gaya pun sudah kami coba, mulai dari yang konvensional, doggie style, miring, sambil tiduran, duduk, jongkok, pokoknya macam-macam lah. Kami pun banyak memperoleh kepuasan dalam melakukan 'hubungan suami istri' tersebut. Yang penting aku tidak memasukkan penisku ke dalam vagina Nari, titik. Jadi hanya sekedar dibelai, diurut, disedot, dikempot atau digesek-gesek saja itu sudah cukup. Cukup untuk memperoleh kenikmatan yang kami inginkan. Tidak jarang setelah itu kami mandi bersama untuk saling membersihkan tubuh kami. Atau kadang nambah porsi lagi di dalam kamar mandi.

Suatu hari saat Nari berada di rumahku dia berkata, "Tong, besok aku ambil cuti 3 hari dari kantor. Aku pengin pergi ke Yogya. Kita ke sana yuk berdua. Jalan-jalan sambil bulan madu, hi.. hi.. hi.." dia berkata begitu sambil bergelayut di pundakku.
Kalo sudah begini aku tidak akan dapat menolaknya. Dia memang sangat lihai kalau merayuku untuk menuruti kemauannya. Malamnya aku mempersiapkan segala sesuatu yang perlu kubawa untuk berlibur ke Yogya. Kami janjian ketemu di terminal bis. Dan kali ini Nari membuat alasan ingin berkunjung ke teman kuliahnya dulu, kangen katanya. Mamanya pun mengijinkan.

Setiba di Yogya kami menyewa penginapan yang cukup lumayan. Kukatakan pada resepsionis bahwa kami adalah sepasang pengantin baru yang sedang menikmati bulan madu. Resepsionisnya hanya tersenyum saja. Memang, aku merasakan kami layaknya pengantin baru saja. Kami dapat tidur sekasur berdua. Bangun tidur dibangunkan dengan ciuman Nari di pipiku. Mandi bersama. Baju yang akan kupakai sudah dia siapkan. Makan sambil suap-suapan. Jalan tidak pernah lepas gandengannya. Kata-katanya selalu manja. Dan yang tidak bosan-bosannya kami lakukan, ngesex tanpa penetrasi.

Hari ini adalah hari ketiga kami berada di kota Yogya, berarti tinggal satu hari ini saja kami menikmati kebersamaan kami di kota Yogya untuk selanjutnya pulang kembali ke kota kami menghadapi 'perang kucing-kucingan' kami. Saat itu kami sedang berbelanja beberapa souvenir di Jalan Malioboro.

Pada saat kami akan menyeberang jalan, lewatlah sebuah Mercedes Benz S-320 warna hitam di depan kami. Mobil mewah itu tiba-tiba berhenti setelah melewati kami. Pintunya terbuka. Dan.., duaar..! Bagaikan ada petir yang menyambar, betapa terkejutnya hati kami karena pria yang keluar dari mobil itu ternyata Papanya Nari..! Wajahnya merah padam. Kami yakin beliau sangat marah melihat kami saling bergandengan mesra di kota Yogya ini, yang jauh dari kota kami. Apalagi kami tahu bahwa papanya Nari sangat tidak menyukaiku. Kami juga heran, kenapa papanya Nari sampe ada di kota Yogya..? Mungkin beliau lagi ada urusan bisnis di kota ini..?

"Nari..! Sini kamu..!" teriak papanya Nari.
Tangan Nari yang mulus dan mungil itu langsung ditarik oleh tangan kekar papanya dan tanpa banyak kata-kata langsung didorongnya Nari ke dalam Mercedes itu.
Sebelum dia tutup kembali pintu, papanya Nari bangkit lagi kemudian melihat ke arahku sambil menunjukku, "Awas kamu..!" hanya itu saja kata yang keluar dari mulut papanya Nari.
Mercedes Benz S-320 yang mereka tunggangi pun melesat cepat. Aku hanya berdiri terpaku melihat semua itu ditambah lagi ratusan pasang mata yang melihat peristiwa itu menatap juga ke arahku.

Aku hampir-hampir tidak percaya dengan kejadian barusan. Kejadian yang sangat tiba-tiba dan cepat. Aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi dengan Nari. Bagaimana amarah yang akan dia terima dari papa dan mamanya. Aku segera berlari menuju penginapan dan memberesi barang-barang kami untuk kembali ke kotaku. Aku harus menyelesaikan masalah ini. Aku akan menghadap orangtua Nari dan menjelaskan semuanya, kalau perlu aku akan melamarnya sekalian walaupun kemungkinan untuk diterima sangat kecil bahkan sangat mustahil.

Baru saja aku menginjakkan kaki di rumahku, saat aku akan membuka pintu rumah. Berhenti sebuah Jeep CJ-7 warna hitam di depan rumahku, dari dalam keluar 5 orang laki-laki berbadan kekar berpakaian hitam-hitam, memakai kacamata hitam. Mereka langsung menghampiriku. Tanpa bertanya apapun padaku mereka langsung menghajarku. Ditinjunya wajahku, perutku. Darah keluar dari hidung, mulut dan pelipisku.

"Mulai saat ini jangan kamu dekati Kenari..!" hanya itu kata-kata yang keluar dari salah satu diantara mereka sebelum mereka meninggalkanku.
Rupanya mereka tukang pukul papanya Nari. Aku masuk dengan tertatih-tatih menahan sakit ke dalam rumahku. Segera kucuci lukaku dan kukompres dengan air es. Ketika kulihat di cermin wajahku bengkak dan biru di mana-mana. Mungkin inilah harga yang harus kubayar kalau aku mencintai Nari. Tapi aku tidak takut, nyawa pun akan kuserahkan kalau memang itu yang harus kuberikan untuk mendapatkan Nari.

Esoknya aku datang ke rumah Nari seperti tekadku sebelumnya. Tapi belum sampai aku ketemu papa dan mamanya, tukang-tukang pukul itu kembali menghajarku. Sayup-sayup aku mendengar suara Nari, mungkin dari balik kamarnya yang memohon agar tukang-tukang pukul itu berhenti menghajarku. Aku pun kembali pulang dengan tubuh yang babak belur. Satu minggu lamanya aku tidak dapat keluar rumah karena luka dan memar yang kuderita.

Sampai pada suatu pagi, bel rumahku berbunyi. Ketika kubuka ternyata ada seorang ibu setengah baya dengan terburu-buru memberikan sepucuk surat kepadaku.
"Mas, ini dari Non Nari. Sudah ya Mas, Ibu harus cepat kembali."
Belum kubalas dengan terima kasih, ibu itu segera keluar pagar pintu rumahku. Aku yakin itu adalah salah satu pembantu Nari yang dititipi surat untukku. Segera kututup pintu dan kubaca surat dari Nari.

Itong sayang.. Maafin Nari yaa.. Karena Nari Itong harus merasakan dipukuli sama centeng-centengnya papa. Nari juga ditampar sama papa. Papa sangat marah sekali mengetahui kalau kita backstreet. Itong kan tahu kalo papa dan mama nggak suka sama Itong. Tapi Nari sayang sama Itong. Nari cinta sama Itong.

Mama Nari juga marah sekali sama Nari, karena selama ini Nari telah membohongi mama. Sampe-sampe jantung mama kemarin kumat. Mama mengancam Nari untuk memilih mama atau memilih berpisah dengan Itong, karena papa dan mama ternyata sudah menjodohkan aku dengan anak Pak Robert, rekan bisnis papa. Bisnis mereka memang besar, makanya papa pingin dengan pernikahan kami nanti bisnis papa akan semakin besar. Tapi Nari tidak cinta dia Tong.. tidak sayang dia.. Nari hanya sayang dan cinta sama Itong.. Hari pernikahan kami pun sudah ditetapkan, yaitu tanggal 10 bulan depan ini, atau hanya kurang 20 hari lagi. Papa dan mama tidak ingin berlama-lama lagi.

Itong sayang.. Saat ini Nari dikunci terus dalam kamar. Tidak ada telepon atau alat komunikasi lain. Kalo Nari butuh sesuatu hanya lewat intercom. Nari terasa hidup di dalam penjara. Buat apa rumah yang besar dan mewah seperti ini kalo Nari harus hidup terpenjara. Makanya Nari nekat menulis surat ini dan aku titipkan pada si Mbok yang akan pergi ke pasar untuk memberikan surat ini pada Itong.

Itong sayang.. Kalau saja pernikahanku dengan anak Pak Robert tidak bisa aku hindari lagi, Nari minta maaf yang sangat besar ya sama Itong. Tapi yakinlah Tong, walaupun dia dapat memiliki tubuhku, walaupun dia akan merasakan keperawananku yang selama ini kamu jaga dengan baik, dia tidak akan dapat memiliki hatiku, cintaku, dan sayangku, karena semua itu hanya Nari berikan buat Itong.

Itong sayang.. Setelah kami menikah nanti, aku akan langsung diboyong ke Amrik. Nari minta Itong jaga diri baik-baik ya, karena Nari sudah nggak bisa lagi mendampingi Itong. Sebab kalo sampe ketahuan Nari lari dari dia, mama akan bertambah parah sakitnya, dan mungkin bisa.. mati. Nari sayang sama Itong, tapi Nari juga sayang sama mama. Itong harus ngerti ya..

Itong sayang.. udah ya.. Nari rasanya nggak ingin pisah sama Itong, tapi mungkin inilah yang namanya takdir. Sekali lagi jaga diri Itong baik-baik. Nari sayang sama Itong. Cinta dan sayangmu, Kenari

Tidak terasa air mataku menitik membaca surat Nari. Dia akan menikah 20 hari lagi. Dia akan menjadi milik orang lain. Lemas tubuhku, rasanya hidup ini sudah tidak bersemangat dan bergairah lagi. Hari-hari kulalui dengan memandangi foto-foto Nari, foto kami berdua, memandangi tawanya yang lepas dan memetik mawar kesukaannya untuk kutaruh di vas bunga pada meja makanku. Setiap pagi kucoret kalenderku, kusilang angkanya. Bertambah dekat dengan tanggal 10, tanggal pernikahan Nari yang kuberi lingkaran warna merah.

Pagi itu kusilang angka 6. Hari ini tanggal 7. Berarti tinggal 3 hari lagi. Mataku berkaca-kaca melihat angka 10.

Tiba-tiba, "Ting-tong-ting-tong-ting-tong..!" suara bel rumahku dipencet orang berulang kali.
"Siapa sih..? Nggak tahu apa kalau aku lagi sedih, lagi mau nangis..!" gerutuku.
Betapa terkejutnya aku, ketika kubuka pintu, ternyata yang berdiri di situ Nari..! Dia langsung berlari dan menutup pintuku.
"Itoong..!" Nari langsung menubruk dan memelukku.
Dia menangis. Aku hanya diam sambil juga ikut memeluknya dengan erat. Aku diam tapi juga bingung dan heran, bagaimana bisa dia lolos dari 'penjara'.

Perlahan kududukkan dia di sofaku yang berada di ruang tengah sambil terus berpelukan.
"Itoong.., Itong tidak perlu bertanya bagaimana Nari bisa datang ke sini. Yang penting Nari sekarang ada di sini, ada di samping Itong, Nari ingin bersama Itong."
Nari masih tetap erat memelukku. Aku masih diam. Lama sekali kami diam menikmati pelukan ini yang mungkin menjadi pelukan kami yang terakhir, yang mungkin jadi pelukan perpisahan bagi kami.

Tiba-tiba Nari melepaskan pelukannya. Dia menatap wajahku, dia pegang pipiku dengan kedua belah tangannya. Di wajahnya dapat kulihat air mata yang menitik dari matanya yang masih tetap indah walaupun terlihat agak lebam, mungkin karena terlalu banyak menangis.
"Itong sayang.., 3 hari lagi aku akan melaksanakan kewajiban baktiku kepada papa dan mama untuk memenuhi kemauan mereka menikah dengan orang yang sama sekali tidak kucintai. Tapi aku juga tidak bisa melupakan janjiku padamu untuk menyerahkan milikku yang paling berharga padamu, orang yang kucintai, orang yang kusayangi. Ambillah Tong, ambillah..! Ini hakmu, aku ikhlas, aku rela."

Belum sempat kubalas ucapannya. Bibir lembut Nari langsung mengecup bibirku. Kelembutan yang membuatku lupa dengan segala kesedihanku selama ini. Kubalas kecupan Nari dengan kecupan yang lembut pula di bibirnya. Lidah kami saling menari, beradu di dalam rongga mulut kami. Aku dan Nari sama-sama terpejam menikmati bersatunya bibir kami.

Setelah lebih kurang 15 menit, kuajak dia berdiri sambil masih tetap berciuman. Kuajak dia berjalan ke arah kamarku. Di dalam kamar, dengan posisi berdiri kulepas sejenak ciuman kami, kupandangi sejenak wajahnya, kubelai rambutnya yang halus, kemudian aku mulai mencium lehernya.
"Oohh..!" Nari memeluk erat leherku.
Aku terus menjelajah lehernya yang jenjang, putih dan mulus. Baunya yang wangi membuatku betah di daerah itu. Sementara itu tanganku mulai menggosok-gosok pinggangnya, kemudian menyelusup masuk kaos yang dipakainya untuk menggosok-gosok punggungnya.

"Oohh..!"
Sejenak kuhentikan ciumanku. Kutarik kaosnya ke atas dibarengi dengan diangkatnya kedua tangan Nari untuk memudahkan kaos itu terlepas dari tubuhnya. Apa yang kulakukan juga diikuti oleh Nari, t-shirt yang kupakai pun dilepasnya dengan cara yang sama. Aku kembali mencium, kali ini belahan dadanya yang montok menjadi sasaranku. Aku sengaja tidak membuka dahulu kancing BH-nya, aku terus turun menciumi perut dan pusarnya dan terus turun menuju kancing jeans yang dipakainya.

Perlahan kubuka kancing dan retsluiting jeans itu, dan kutarik turun jeans itu untuk melepaskannya dari kedua kakinya. Kini Nari hanya tinggal memakai BH dan CD dengan warna yang sama, pink. Dia pun melepaskan celana pendek yang kupakai, sehingga aku pun tinggal memakai celana dalam saja. Kembali kukecup bibirnya. Kedua tangannya juga kembali dilingkarkan di leherku. Kemudian kugendong dia untuk kuletakkan di atas tempat tidurku.

Nari berbaring dan aku berada di atasnya. Matanya terpejam. Bibirnya yang bawah dia gigit. Aku kembali menciumi lehernya.
"Oohh..!" ciuman di lehernya terus kulakukan dengan berpindah-pindah, dari kiri ke depan kemudian ke kanan, balik lagi ke depan, ke kiri, bahkan juga ke belakang lehernya.
Sementara itu tangan kiriku menyelusup masuk ke arah punggungnya mencari kaitan BH. Dengan sekali jentik, lepaslah tali pelindung payudaranya.

Kini ciumanku turun menuju dua bukit indah yang masih tertutup BH itu. Dengan pelan dan lembut kuciumi permukaannya. Kiri, kanan, kiri, kanan sambil sedikit demi sedikit turun, demikian juga dengan BH-nya kutarik pelan juga. Dan akhirnya tersembullah puting susu yang berwarna merah muda itu. Putingnya sudah berdiri tegak, menandakan gairah yang melandanya sudah tinggi. Kulemparkan saja BH Nari sembarangan.

Sepasang buah dada yang indah, bagai dicetak dengan dua batok kelapa, sempurna sekali, tidak ada sedikit pun otot yang kendor walaupun sudah sering ku-'unyel-unyel'. Apa lagi dalam gairah yang tinggi ini, payudara itu tampak lebih padat dan kenyal. Aku tidak tahan untuk menelan air ludahku. Langsung saja kuciumi, kujilat buah dada yang ranum itu, kemudian kusedot putingnya yang mencuat indah. Kalau sedang kucium yang kiri, maka yang kanan kubelai dan kuremas lembut dengan tanganku, demikian juga jika buah dada yang kanan kalau kucium, maka yang kiri pun kubelai dan kuremas lembut. Napas Nari semakin cepat, nyanyian suara birahinya mulai keluar satu persatu. "Ooohh.. sshh.. oohh..!"

Setelah puas dengan payudaranya, ciumanku turun ke arah perutnya. Kuciumi pusarnya, kujilati memutari pusar itu.
"Aaugghh..!" pinggangnya yang rampingpun juga tidak luput dari jilatanku. Tangan Nari mencengkeram erat rambutku. Tidak lama kemudian kubalik tubuhnya. Kini dia dalam keadaan tengkurap. Kusibakkan rambutnya agar aku dapat melihat bagian belakang lehernya. Kucium dan jilat leher itu.
"Oogghh..!" Kedua tangannya mencengkeram kain sprei. Kemudian kuciumi punggung atasnya, ketiaknya, lengannya yang halus, dan kukulum jari-jari tangannya.

Aku ingin setiap bagian tubuhnya tidak akan kulewatkan pagi ini.
"Oohh.. oohh..!" ciumanku terus turun mengikuti ruas tulang punggungnya, sekali lagi aku lakukan dengan sangat pelan dan lembut sambil memberikan belaian yang lembut pula pada kedua belah sisi punggungnya, sampai pada pinggulnya yang montok.
Kuciumi pinggul itu tanpa melepaskan CD yang menutupinya untuk terus lewat menuju paha bagian belakang. Terus mencium dan membelai sampai bagian belakang lutut.

Menurut buku yang kubaca, daerah belakang lutut adalah daerah yang sangat sensitif yang dapat merangsang gairah birahi wanita. Benar juga, saat kucium dan kujilat daerah itu. Tubuhnya menggelepar-gelepar. Suaranya terdengar lebih keras, "Auuhh.. auhh.. aauhh..!" Kemudian ciumanku turun ke betis serta dilanjutkan ke telapak kakinya. Ciuman dan jilatan itu kulakukan dengan pelan, penuh perasaan cinta dan sayang, dari atas ke bawah, kemudian balik lagi ke atas, sampai 3 kali.

Akhirnya aku berhenti pada pinggulnya yang masih tertutup celana dalam. Kutarik pelan CD-nya untuk melepasnya. Diangkatnya pinggulnya dan lepaslah CD penutup itu. Kini di hadapanku terpampang pinggul yang indah, montok, putih dan tidak ada goresan warna hitam sedikit pun. Kubelai-belai dulu pinggul itu.
"Oouuhh..!"
Setelah itu bibirku pun mendarat di pinggulnya. Sekali lagi kecupan dan jilatanku tidak akan melewatkan satu mili pun bagian kulitnya untuk tidak tersentuk oleh bibir maupun lidahku.

Saat pinggulnya sedikit dinaikkan, dapat kulihat belahan vaginanya yang telah basah oleh cairan birahi Nari yang putih. Kujilat sedikit dan kutelan. Tubuhnya sedikit tersentak seperti terkena sengatan listrik. Langsung kubalik lagi tubuhnya. Sekarang wajahnya berhadapan denganku. Matanya terbuka. Bibirnya sedikit tersenyum. Dipegangnya pipi kananku dengan tangan kirinya. Kutatap sejenak matanya tanpa berkata-kata. Kemudian langsung saja kutundukkan wajahku dan mencium mesra bulu-bulu lembut vaginanya.
"Ooohh..!" suaranya sedikit tertahan.

Kuciumi rambut itu sambil kuhirup wangi baunya. Rambut itu terasa lembut di hidungku. Kuciumi rambut vagina Nari memutari labia mayoranya. Bagian bawah vaginanya sudah banjir oleh cairan birahi. Kecupanku semakin ke dalam, menyentuh labia mayoranya, "Oouughh..!"
Sekarang aku akan lebih sering menggunakan lidahku, menari-nari, menyenggol labia mayora, labia minora, klitoris, saluran kencing, dan juga lubang rahimnya. Cairan yang keluar juga kujilat dan hirup kemudian kutelan. Walaupun rasanya sudah kutelan banyak sekali, tapi cairan itu tetap tidak mau habis, terus saja mengalir.

Sementara itu reaksi Nari semakin menjadi-jadi. Kepalanya menengadah. Matanya terpejam. Mulutnya menganga sambil mengeluarkan nyanyian merdunya, "Oohh.. aahh.. terruuss.. eennak.. eemm.. yyaa.. sshh.. oouugghh..!"
Sementara itu dadanya naik turun dengan cepat diikuti dengan naik turunnya punggung Nari. Pinggulnya juga ikut bergoyang-goyang. Tangannya mencengkeram erat rambutku dan menekannya dengan kuat ke arah vaginanya. Aku terus menjilat sambil menyedot-nyedot klitorisnya.

Gerakan Nari semakin liar. "Oouughh..!" suaranya semakin keras.
"Ayo Sayang.. lebih cepat lagi.. lebih keras lagi.. iyyak.. begitu.. teruus.. teruuss.. aakkuu.. mmauu.. nyaammppee.. oogghh..!"
Nari mencapi orgasmenya yang pertama. Cengkeraman jarinya semakin kuat. Kedua pahanya menjepit kepalaku. Kakinya menegang. Napasku semakin susah kuhirup. Tapi aku tidak perduli. Aku masih ingin memberikan orgasme yang beruntun buat Nari. Lidahku semakin seru menjilat dan menghisap klitorisnya.

"Hhhgg.. hhaa..!" Yah..! Orgasme Nari datang lagi. Tapi lidahku semakin kencang lagi.. lagi.. dan lagi.
"Oohh.., toongg.. aakkuu nggakk kkuuaatt laggii.. aakkhh..!" orgasmenya yang ketiga melanda tubuh Nari.
Dia langsung melepaskan cengkeraman di rambutku, jepitan pahanya di kepalaku dan kakinya langsung dia selonjorkan. Napasnya naik turun. Buah dadanya yang tegang dan montok dengan puting yang mencuat indah itu naik turun mengikuti irama napasnya. Keringat membasahi tubuhnya. Aku pun juga menyeka keringat yang mengalir deras di keningku sambil menjilati sampai habis cairan vagina Nari yang menempel di bibirku.

Kucium keningnya, kucium pipi kanannya, pipi kirinya, hidungnya dan terakhir bibirnya. Kubisikkan kata yang lembut di telinganya, "I love you so much, honey."
Dia kemudian memeluk tubuhku. Kubalas pelukannya.

Tiba-tiba saja dia bangun dan berbalik. Kali ini tubuhku di bawah, dan tubuhnya di atasku. Dia langsung menciumi telingaku. Kemudian turun ke leherku. Terus ke arah dadaku. Aku benar-benar menikmati rangsangannya. Jari-jari lembut Nari bermain-main di atas putingku dan rambut halus yang tumbuh di sekitar pusarku. Ciumannya tidak meninggalkan bagian terkecil pun dari bagian depan tubuhku. Ciumannya terus turun ke arah perut bawahku yang tidak jauh dari penisku bersarang. Geli sekali aku merasakannya.

Akhirnya dia menciumi penisku yang telah tegang sekali dari luar celana dalam yang masih terpakai olehku. Dicium sambil dibelainya dengan lembut. Tidak lama kemudian ditariknya karet celana dalamku. Kubantu dengan sedikit mengangkat pinggulku, maka loloslah celana dalam itu melalui kedua kakiku. Tampaklah di hadapan Nari penis kebanggaanku. Tegak menantang, dengan guratan-guratan otot di sekitarnya. Nari langsung membelainya dengan lembut. Kali ini matanya nyaris tidak berkedip sedikit pun melihat senjata kebanggaanku itu.
"Sshh..!" desisku.

Seperti anak kecil yang lama tidak makan ice cream, Nari langsung mengulum penisku seperti dia mengulum ice cream.
"Oouuhh..!" penisku yang besar itu tidak muat di mulutnya, hanya kepala penisku saja yang masuk ke dalam mulutnya.
Tapi bagiku itu sudah cukup, karena dengan lidahnya yang lembut Nari memberi rangsangan yang hebat pada bagian kepala penisku itu. Aku langsung menggelepar-gelepar seperti ikan yang kehabisan air.

Kedua tangannya bergantian membelai, menggosok, dan mengocok batang penisku. Sementara mulutnya juga tidak henti-hentinya mencium, menjilat, mengulum, dan menyedot kepala penisku. Aku terasa terbang dibuatnya.
"Sayaanngg.., aakkuu maauu kelluuar..!"
Tiba-tiba saja Nari menghentikan aktifitasnya. Jari-jarinya seolah mencekik kepala penisku.
"Jangan dikeluarkan dulu ya Sayaang..!" begitu Nari berkata.

Kemudian dengan tangan masih memegang penisku, Nari berbaring di sampingku. Dia memintaku untuk berada di atas tubuhnya. Nari membuka lebar kedua pahanya. Nampak vagina Nari yang tertutup oleh rimbunan rambut hitam yang lebat itu menganga lebar. Cairan birahinya masih terlihat berkilau karena banyaknya. Dia menarik dan membimbing penisku untuk mendekati vaginanya. Digesek-gesekkannya penisku pada bibir vaginanya. Matanya merem melek.

"Itong Sayang.. Selama ini kamu telah membuktikan janjimu.. Kamu telah menjaga dengan baik barang berhargaku ini sampai kita menikah. Tapi takdir berkata lain, aku harus menikah dengan orang lain. Tapi aku tidak akan memberikan barang yang telah kau jaga ini pada dia. Kamu lah yang lebih berhak, kamu lah yang memilikinya. Ambillah Tong.., ambillah.., Nari sayaang sama Itong..!"
Kutatap tajam matanya, seolah tidak percaya aku mendengarnya.
"Nari..?"
Nari tidak menjawab. Dia hanya mengangguk dan membimbing penisku untuk lebih masuk ke dalam vaginanya.

Kutundukkan kepalaku mendekati wajahnya.
"Nari.. I do loove you..!"
Kucium bibirnya. Dibalasnya ciumanku. Bersamaan dengan itu pula kutekan dengan pelan, sedikit demi sedikit penisku memasuki vaginanya. Seret sekali rasanya, karena ini yang pertama kali bagi Nari. Namun karena cairan vagina yang keluar dari mulut vaginanya cukup banyak, maka ini membantu penisku untuk lebih lancar memasukinya. Pelaan sekali aku melakukannya karena aku tidak ingin menyakitinya. Sementara itu bibir kami masih tetap saling berciuman.

Hal ini dapat kami lakukan karena tinggi badan kami tidak beda jauh, bahkan nyaris sama. Tiba-tiba ujung penisku terasa menyentuh sesuatu. Seperti ada tulang rawan dengan lubang kecil di tengahnya menghalangi jalan penisku. Inikah yang disebut dengan selaput dara. Belum sempat berpikir panjang, pinggulku dipegang oleh kedua telapak Nari. Kemudian dengan sedikit hentakan, dia menekan pinggulku agar lebih dalam dan kuat masuknya. Kuikuti saja keinginannya.

"Eegghh..!" suara itu keluar dari dalam mulut Nari sambil dia gigit bibirku.
Agak sakit juga sih. Tapi aku berpikir itu adalah reaksi Nari terhadap tembusnya selaput dara oleh penisku yang baru saja terjadi. Memang menurut sebagian besar wanita, pada saat tembusnya selaput dara untuk pertama kali akan dirasakan sakit. Tapi tangan Nari masih tetap menekan pinggulku sampai akhirnya rambut-rambut kemaluan kami bersatu dan pangkal paha kami bertemu. Kudiamkan penisku agar tidak bergerak-gerak terlebih dahulu di dalam vaginanya untuk memberikan kesempatan kepada vaginanya agar hilang rasa sakit akibat sobeknya selaput dara. Aku merasakan betapa hangatnya liang rahim Nari. Sementara itu bibir kami masih saling melumat.

Setelah kuanggap cukup dan Nari sudah agak sedikit tenang, kulepaskan ciuman kami. Kuangkat sedikit tubuhku, kulirik ke bawah. Oh indahnya persetubuhan ini. Aku juga melihat ada darah di sana. Terima kasih Nari, kamu telah menyerahkan barang berhargamu itu kepadaku. Kemudian dengan bertumpu pada kedua sikuku dan dilingkarkannya kedua kaki Nari pada pahaku, aku mulai dengan sangat pelan menarik penisku.

"Oohh..!" mata Nari mendelik sesaat, kemudian melihat ke atas dan terpejam sambil mulutnya menganga dan tubuhnya melengkung ke atas membuat buat dadanya juga ikut terangkat ke atas.
Kuciumi sejenak buah dada dan puting itu. Kali ini aku konsentrasi pada gerakan pinggulku yang akan menaikkan dan menurunkan penisku guna menggesek dinding vagina Nari.

Setelah hampir 3/4 bagian penisku kutarik, kemudian kudorong kembali pelan-pelan.
"Oohh..!" kembali Nari menunjukkan reaksinya.
Tangannya mencengkeram erat pinggiran bantal yang dipakainya. Gerakan ini kulakukan terus, naik, turun, sampai benar-benar kurasakan dinding vagina Nari terasa licin dan dapat menyesuaikan diri dengan ukuran penisku. Gerakanku pun semakin cepat, sementara reaksi Nari pun juga semakin menjadi-jadi. Matanya masih tetap terpejam, mulut masih mengeluarkan suara-suara kenikmatannya.

Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, bahkan kadang seperti sengaja dibanting ke bantal. Dadanya naik turun karena punggungnya yang melengkung-melengkung. Pinggulnya ikut bergoyang mengikuti irama keluar masuknya penisku dalam vaginanya.
"Ohh Tong..! Eennak sekali.. oohh..!"
Aku pun masih bersemangat dan menikmati persetubuhan ini. Sekali-sekali mulutku mencium buah dadanya, pipinya, lehernya, juga mulutnya.
"Ooghh.. ya.., terus Sayang..! Yah.., enak.., lebih cepat laggii.. iyyak.. teruuss.. teruss.. akuu maauu nyaampee..!"

Bersamaan dengan itu pula aku merasakan spermaku mengalir cepat melalui saluran-salurannya yang ada di penisku, dan terasa sudah di ujung kepala penisku. Aku berharap kami dapat menyempurnakan persetubuhan pertama kami ini dengan menikmati datangnya orgasme secara bersama-sama. Dan ternyata benar..! Saat Nari semakin erat mencengkeram bantalnya dan jepitan kakinya pun juga semakin kencang juga jeritannya semakin keras dan panjang, kusemprotkan bibit cinta kasihku kepada Nari ke dalam dinding rahim Nari.

"Oouugghh..!" kami melenguh bersama-sama, panjang dan nikmat.
Kurasakan penisku berdenyut-denyut menyemprotkan sperma ke dalam vagina Nari. Dapat kurasakan juga kontraksi yang dialami oleh dinding rahim Nari. Menjepit, meremas, mengurut, dan menyedot penisku, seakan-akan ingin menguras habis sperma yang kukeluarkan dari ujung kepala penisku. Peluh kami bercucuran. Lemas sudah tenaga kami. Seakan terlepas semua persendian tulang kami.

Tidak pernah kami nikmati kenikmatan di dunia ini selain kenikmatan yang baru saja kami rasakan. Dengan masih sedikit kutahan dengan kedua tanganku, aku ambruk di atas tubuh Nari. Napasku memburu di samping telinganya. Demikian juga Nari. Tangannya dirangkulkan di leherku. Dibelai-belainya rambutku. Dari telingaku yang menempel dekat mulutnya dapat kudengar Nari terisak.

Kuangkat kepalaku untuk melihat wajahnya. Benar, dari kedua matanya mengalir air mata. Air mata bahagia sekaligus air mata duka. Bahagia karena dia telah menyerahkan 'mahkota'-nya yang sangat berharga kepada orang yang sangat dicintainya sekaligus duka karena kami tidak akan dapat merasakannya lagi karena setelah ini dia harus pergi. Melihat air matanya, aku pun tidak merasa kalau mataku juga berkaca-kaca dan akhirnya jatuhlah air mataku di wajahnya.

Suara tangisnya tidak dapat ditahan. Dia menangis sambil menarik leherku dan mencium bibirku.
Dalam hatiku aku juga menangis, "Tuhan.., kenapa Engkau memisahkan kami..? Dua anak manusia yang saling mencintai, yang saling mengasihi."
Tubuh kami kembali menyatu. Penisku belum kucabut dari vagina Nari. Kami saling mencium dan membelai serta mengucapkan kata-kata cinta kami.

Akhirnya perpisahan itu tidak dapat kuhindari. Setelah kami mandi bersama untuk membersihkan diri kami masing-masing, Nari bersiap untuk pergi meninggalkan rumahku. Sebelumnya kukalungkan di lehernya sebuah kalung dengan bandul yang terdapat hiasan dua ekor burung merpati yang sedang terbang berdampingan, merpati yang melambangkan cinta suci kami berdua.

Kalung itu memang telah kusiapkan untuk peringatan 2 tahun hubungan kami yang jatuh pada bulan depan. Tapi karena dia akan pergi sekarang, maka kalung itu kulingkarkan di lehernya sekarang juga. Juga tidak lupa mawar merah. Kali ini semua batang mawar yang ada di halaman rumahku kupetik, baik yang masih kuncup maupun sudah mekar, berapa pun jumlahnya. Mata Nari hanya berkaca-kaca, mulutnya sudah tidak sanggup lagi mengeluarkan kata-kata. Demikian juga aku.

Akhirnya ciuman perpisahan mengakhiri pertemuan kami pagi sampai siang hari ini. Walaupun tanpa mengeluarkan kata-kata, aku yakin kami berdua saling mengatakan, "Selamat Jalan Sayangku, Selamat Jalan Cintaku. Cinta yang abadi tak kan hilang hanya karena kita berbeda jarak, tak kan hilang karena kita terpaksa harus berpasangan dengan orang lain, tak kan hilang oleh waktu, tapi cinta yang suci selalu bersemi di dalam hati sanubari dua insan yang saling mengasihi, sampai mati."

Nari dengan cepat hilang di balik pintu rumahku yang dia buka sendiri, sementara aku terpaku di belakangnya tanpa sanggup menghalangi kepergiannya.

TAMAT